Alasan yang Bikin Selalu Kangen Tokyo

Alasan yang Bikin Selalu Kangen Tokyo

Picture taken by My Japanese Friend Yuki Richardo Noda

Judul untuk artikel saya ini kedengarnnya lebay ya, tapi memang begitulah yang saya rasakan ketika mengunjungi negeri Sakura, khususnya kota Tokyo. Dan saya yakin pelancong yang pernah ke Tokyo akan merasakan seperti apa yang saya rasakan.

Lingkungan yang bersih, lalu lintas yang lancar, dan masyarakatnya yang tertib adalah beberapa dari sekian banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati di kota Tokyo, Jepang. Itulah beberapa dari sekian banyak hal menarik yang membuat kota berpenduduk 30 juta jiwa ini dirindukan mereka yang pernah menginjakkan kaki di Tokyo.

Pengalaman saya ini sebenarnya merupakan catatan perjalanan saya beberapa tahun lalu, sudah lama ya. Berhubung lagi jadi blogger pemula, saya re-write kembali, mudah-mudahan sih masih seru untuk dishare. Siapa tau bisa kasih gambaran buat yang mau ke Jepang. Ya gak !

Nah, terusin lagi ya ceritanya. Nama besar Jepang sebagai sebuah negara adidaya di kawasan Asia sudah begitu terasa saat kami turun dari pesawat dan menginjakkan di Bandar Udara Internasional Narita. Semua petunjuk ditulis dalam huruf Hiragana dan penjelasan dalam bahasa Inggris dan Jepang.

Closet dan wastafel di bandara ini dipercanggih dengan teknologi touch screen dan dilengkapi dengan petunjuk dalam bahasa Inggris dan Jepang dan juga gambar. Awas jangan salah pencet tombol, bisa berabe. Untung semua petunjuk jelas, jadi sempat ada insiden yang membuat kehebohan. Intinya kudu tenang alias cool, don’t be panic!

Di lobi bandara, suasana tampak lengang. Senyap. Tak ada hiruk pikuk tukang parkir dengan peluitnya. Tidak ada porter yang menawarkan jasa untuk mengangkat bagasi atau calo yang menawarkan jasa transportasi. Semuanya harus dilakukan sendiri oleh setiap penumpang alias self service.

Suasana Jalanan yang Lengang


Dari Narita, perjalanan menuju pusat kota Tokyo ditempuh sekitar satu jam melalui jalan tol. Selain bis, ada beberapa pilihan sarana transportasi. Kereta api lebih disukai karena tarifnya lebih murah. Hanya 2000 yen atau setara dengan Rp200 ribu. Atau juga 4000 yen atau setara dengan Rp400 ribu kereta api kelas eksekutif. Sementara tarif taksi lebih mahal. Bahkan sangat mahal, yakin 50 ribu yen atau setara dengan Rp5 juta. Mahal karena baru membuka pintu taksi saja, Anda sudah dikenakan tarif sebesar 700 yen atau Rp70 ribu.

Selanjutnya, tarifnya menjadi 200 yen atau setara dengan Rp20 ribu per kilometer. Makanya, kata guide tour saya dan rombongan, sampai tujuan, argo taksinya berhenti, jantung penumpang taksinya juga berhenti karena saking mahalnya. Andre, warga Malaysia yang sudah 18 tahun tinggal di Jepang ini, sambil tertawa terbahak. 

Pemandangan begitu indah dari bandara menuju pusat kota. Di kanan dan kiri jalan berdiri pepohonan hijau. Rumah penduduk berderet rapi dari kejauhan. Dan sawah membentang hijau sepanjang perjalanan. Tahun ini, para petani sedang bersiap memanen padi. Karena memiliki empat musim, yakni musim semi atau hanami, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, di Jepang hanya sekali panen dalam setahun. Nah di Bulan September, Jepang sedang musim panas.

Setelah KM 40, pemandangan berubah. Pabrik-pabrik dan kawasan industri berlanjut dengan apartemen dan flat. Rupanya kami sudah memasuki pinggiran Tokyo. Di pusat kota Tokyo sendiri jarang sekali terdapat tempat pemukiman. Kalaupun ada, hanya sedikit jumlahnya. Tokyo memang didesain menjadi pusat bisnis dan perkantoran. Para pekerja biasanya pulang dan pergi bekerja dengan kereta. 

Hidangan Terasa Segar Meski Tak Pedas

        picture taken by choco_chocho_travel

Segera setelah tiba di Tokyo, tujuan pertama kami adalah sebuah restoran yang menyajikan hidangan khusus dari Hokaido, sebuah pulau paling ujung di Jepang. Aroma kuah kepiting dicampur sawi putih, jamur, dan beberapa sayuran khas Jepang membangkitkan selera. Udon, shabu-shabu, yakiniku, dilengkapi ocha atau teh panas, rasanya luar biasa. Meskipun agak adem karena di resto ini tidak menyediakan sambel atau saos sambel, yang ada hanya bubuk cabe.

Makan siang saya sangat lahap karena setelah menmpuh perjalan 7 jam dari Jakarta menuju kota Tokyo. Meski tanpa sambal pedas, semua hidangan terasa segar. Maklum, orang Jepang memang menerapkan pola hidup sehat. Itulah mengapa rata-rata usia lelaki Jepang 83 tahun dan rata-rata usia perempuan 85 tahun.

Menikmati sushi di sekitar Ometosando, sebuah kawasan pusat perbelanjaan yang menjual brand-brand kelas dunia juga menjadi agenda saya dan teman teman berikutnya. Di sebuah sushi bar yang kami pilih, ternyata chef-nya berasal dari Indonesia, suasana makan pun terasa semakin seru.

Dari Asakusa sampai Ginja

Di Tokyo, ada dua tempat peribadatan penganut agama Shinto yang menjadi salah satu tempat tujuan wisata favorit. Pertama adalah Asakusa Kanon Tample. Ribuan wisatawan, baik lokal maupun asing, memenuhi kuil raksasa ini.

Selain tempat beribadah, kuil ini juga menawarkan beraneka ragam oleh-oleh khas Jepang. Toko-toko yang sebagian besar dijaga para lansia ini dengan mudah ditemukan makanan, suvenir, tas, sepatu, hingga kimono. 

Yang kedua adalah Meiji Ginja. Tidak seperti Asakusa, kuil ini lebih lengang. Kesan sakral sudah begitu terasa saat kami memasuki pintu gerbang atau torri. Ginja terletak di tengah hutan kota yang sejuk. Dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki dari tempat parkir.

Dua pendopo berornamen kayu berdiri di pintu gerbang. Di sebelah kiri terdapat kolam berisi air dengan gayung-gayung kecil untuk membasuh muka dan tangan. Air ini, oleh masyarakat Jepang, diyakini sebagai air pembawa berkah. Ketika kami melangkah masuk, tampak pengunjung melakukan prosesi ibadah dengan khusyuk. Melemparkan koin, membungkuk dua kali, bertepuk tangan dua kali, dan diakhiri dengan membungkuk satu kali.

Sementara itu, di pelataran, ada sebuah tempat yang penuh dengan kumpulan tulisan tangan para pengunjung. Isinya berbagai macam. Ada yang ingin sukses berkarier, langgeng dalam asmara dan lainnya. Serombongan anak sekolah tampak menulis harapan mereka di atas secarik kertas.

Berburu Travel Bag Murah di Ginza

Lebih terlihat sebagai reporter ketimbang traveler
Ada banyak tempat belanja favorit di Tokyo. Ginza adalah salah satunya. Selain berada di tengah kota, Ginza juga dikenal sebagai tempat belanja murah. Di UNIQLO, misalnya, adalah salah toko yang menawarkan harga yang cukup terjangkau. Sekitar seratus ribuan hingga satu juta rupiah. Di sini, kami sempat bertemu dengan beberapa warga Indonesia.

Tak jauh dari UNIQLO, ada sebuah toko kecil yang menarik perhatian kami. Sebuah toko tas yang selalu ramai dengan pembeli. Di sini, semua tas, entah besar, entah kecil, dijual dengan harga yang sama. Lima ribu empat ratus yen atau setara dengan Rp500 ribu. Kata Andre, sang tour guide yang ramah dan bisa dibilang super bawel hehehe, tokoh tas ini sangat terkenal dari dulu sampai sekarang. Semua wisatawan, kalau ke Jepang, pasti akan singgah di sini.  

Harajuku yang Bikin Lupa Waktu

Tak lengkap rasanya jika kita tak mengunjungi kawasan Harajuku di Takeshita Street. Baju, tas, dan aneka sepatu tersedia di tempat ini. Harganya terjangkau. Meskipun gak bisa bahasa Jepang, gak usah khawatir, para pelayan toko yang kebanyakan lansia jujur dan memberian uang kembalian gak kurang dan gak lebih.
Melintasi tempat ini bisa membuat saya  lupa waktu meskipun sekadar window shopping hehe. Saya beli dua pasang sepatu di sini, harganya terbilang murah dan enak untuk jalan. Muda-mudi Jepang terlihat modis dan stylist di tempat ini. Jalan ini nyaris tak pernah sepi dari pagi hingga malam hari. Tambahan lagi, tak jauh dari Takeshita Street terdapat stasiun kereta api bawah tanah, Harajuku Station.

“Kelayapan” di Tokyo di Malam Hari

Jepang dikenal dengan kendaraan transportasi kereta-nya yang canggih dan on time . Saya dan beberapa teman pun mencoba untuk merasakan sendiri kemudahan transportasi kegemaran masyarakat Jepang, kereta api bawah tanah subway. Waktu itu kami bertolak dari stasiun Suidobashi tidak jauh dari Tokyo Dome Hotel tempat saya menginap.

 Di depan stasiun terdapat loker lengkap dengan kunci. Tidak ada petugas di tempat ini. Semua harus dilakukan sendiri. Jika Anda ingin mentitipkan barang bawaaan, caranya mudah. Cukup dengan memasukkan uang koin sesuai tarif yang tertera. Setelah itu, kunci Anda bawa dan barang Anda ambil setelah kembali ke stasiun.

Di loket subway pun lagi tak ada petugas. Hanya mesin seperti ATM yang ada di situ. Anda hanya masukkan koin,  memencet tombol stasiun tujuan, dan tiket akan keluar secara otomatis.

Kereta pun tiba tepat waktu. Tujuan kami malam itu adalah Stasiun Roppongi, kawasan yang dikenal sebagai tempat hiburan malam di Tokyo. Setelah transit satu kali di Stasiun Hibya, perjalanan untuk sampai ke Roppongi hanya butuh waktu sekitar 15 menit: 7 menit naik kereta dan sisanya berjalan kaki. Waktu itu tujuan saya ke Hard Rock Café untuk sekedar ngopi dan beli t-shirt untuk oleh-oleh.


Kereta Tokyo Metro Line ini terakhir biasanya tersedia hingga jam 12 malam. Itulah sebabnya warga Tokyo lebih suka naik kereta. Tarifnya pun terbilang murah jika dibandingkan dengan bepergian dengan kendaraan sendiri. Tarif parkir di Tokyo sangat mahal. Rp20 ribu per jam. Demikian pula harga bensinnya. Rp20 ribu per liter. Itulah sebabnya jalanan kota Tokyo sell lengang. Yang menarik, jendela kaca kendaraan, baik pribadi maupun umum, tampak terang. Itu adalah peraturan pemerintah untuk menghindari kejahatan.

JJS di Shibuya sambil Melihat Patung Hachiko

Sore hari sebelum jalan jalan dengan Tokyo Metro Line, saya dan beberapa teman juga sempat JJS alias jalan-jalan sore. Kami juga duduk-duduk menikmati sore di kawasan yang mash dekat dengan harajuku itu, tepatnya di patung anjing Hachiko yang terkenal. Sambil minum segelas kopi dan roti yang kami beli di supermarket Lawson yang ada banyak terdapat di kota Tokyo.

Bagi masyarakat Jepang, Patung Hachiko merupakan symbol kesetiaan. Di masa hidupnya, Hachiko adalah seekor anjing yang setia menantikan tuannya, Profesor Hidesaburo Ueno, yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo.

Tempat ini biasanya menjadi meeting point yang penting di Shibuya, juga menjadi tempat para pasangan bertemu, seakan ingin menyatakan bahwa mereka juga akan setia seperti Hachiko. Dari tempat ini kita juga bisa melihat ribuan orang bagaikan semut berjalan berlawanan arah di jam pulang kerja. Meski menyemut namun, masing-masing berjalan dengan tertib.

Explore Tokyo Disneyland yang di tengah Terik Matahari


Ke Tokyo, belum lengkap rasanya kalau belum mengunjungi theme park-nya yang terkenal apalagi kalau bukan Disneyland Tokyo. Wahana bermain kelas dunia yang ada di Tokyo ini, terdiri atas dua areal, yakni Disneyland dan Disney see dengan luas sekitar 80 hektar. Disney See menawarkan hiburan yang lebih memacu adrenalin. Biasanya dikunjungi remaja, abege dan orang dewasa. Sementara Disneyland lebih ramai dikunjungi orang tua dan anak-anak.

Dari pintu masuk beragam mascot kartun Disney seperti Micky Mouse, Miny Mouse, Donald Duck dan lainnya dengan gaya lincah menyambut para pengunjung. Anak-anak tampak senang berinteraksi dengan maskot-maskot ini.  banyak wahana dan permainan anak-anak di di theme park ini, diantaranya Mount Flash  dan Roller Coaster dan masih banyak lagi (tepatnya udah lupa :).  Kami  juga melihat banyak parade hari ini. Beragam parade digelar diiringi musik yang membuat para pengunjung anak-anak khususnya senang.

Saya di September 2014, Jadul bingitz yaa hehe
Sayangnya cuaca yang terik hari itu yakni hampir 38 derajat celcius waktu itu, membuat mata rasanya terus berair, kulit terbakar meskipun sudah pakai topi yang lebar untuk nutupin mata. dan saya tidak terlalu bisa menikmati wahana yang ada. Akhirnya saya pun memilih menunjungi toko cinderamata, dan bookstore yang ada di sana, karena lebih adem, gimana caranya pokoknya gak kepanasan. Hehehe gak mau rugiii….




Cool Biz yang Bikin Pria di Jepang kelihatan Cool Abizzz

Tapi ngomongin cuaca di panas, bukan saya aja siy yang “kelojotan” Suhu pada siang hari sekitar 34—370 C. Cukup panas dan terik. Meskipun demikian, warga Jepang tidak jor-joran dalam menyiapkan pendingin ruangan atau AC.

Sejak pembangkit listrik mengalami kerusakan akibat gempa beberapa tahun terakhir, pemerintah memang sangat ketat dalam penggunaan listrik.  Di perkantoran, misalnya. Suhu AC tidak boleh terlalu dingin. Itulah sebabnya para pekerja pria diperbolehkan untuk tidak mengenakan dasi meskipun mengenakan jas.

Tradisi cool biz ini baru digalakkan beberapa tahun belakangan ini. Cool Biz atau cool business. Para pria ke kantor dengan hanya mengenakan kemeja. Ada yang mengenakan jas, tapi semua tak mengenakan dasi karena lumayan gerah. AC di kantor tidak boleh terlalu dingin. Suhunya dibuat seperti suhu kamar. Maksimal 240 C.

Di setiap gedung ada petugas yang secara khusus mencatat suhu. Suhu di dalam gedung tidak boleh terlalu dingin dibandingkan  dengan di luar gedung. Suhu di hotel tempat kami menginap pun 240 C. Tidak tersedia remote untuk mengganti suhu suka hati. Semuanya sudah diatur oleh pengelola hotel.

Oleh-Oleh Lebih Murah di Narita

Buat yang mungkin ke Tokyo pertama kalinya tidak perlu khawatir jika tidak sempat membeli oleh-oleh di pusat perbelanjaan atau tempat wisata lainnya. Di Bandara Narita, tepatnya di lantai satu, ada toko yang khusus menjual oleh-oleh seperti makanan dan minuman, suvenir, makanan khas Jepang seperti Tokyo Banana, hingga barang elektronik.

Harga barang-barang yang dijual di Fasola, toko yang ada di Narita misalnya, di tempat ini pun jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga barang yang sama yang dijual di toko-toko atau pusat perbelanjaan atau tempat wisata di sekitaran Tokyo. Selisihnya bisa sampai 30%. Selain itu, bebas pajak.

Berbelanja di Fasola menjadi akhir rangkaian perjalanan kami di Tokyo. Terbayang kembali kota Tokyo yang bersih dan masyarakatnya yang disiplin dan tertib. Sebuah kota yang aman dan bersahabat untuk perempuan. Benar kata teman saya, Yulia Rachman, Jepang selalu bikin kangen. Unch unchhh




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terpikat Eksotisme Suku Jahai

Lebih Dekat dengan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

Keranjingan Jogging di Monas sampai Studio Alam Depok