Lebih Dekat dengan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Semangat gotong-royong menjadi urat nadi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semangat yang diwariskan para leluhur sejak ratusan tahun ini pula yang menjadi perekat kehidupan nan harmonis meski zaman terus berubah.
Matahari belum terlalu tinggi ketika saya tiba di
Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kampung Gede Ciptagelar, Cikarancang, Cicemet,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat belum lama ini.
Siang itu, beberapa pria mengenakan baju serba hitam
dan ikat kepala bermotif batik coklat menyambut saya ketika saya memasuki
sebuah rumah besar yang merupakan tempat berkumpulnya para tamu. “Selamat
datang di Imah Gede, mari silahkan masuk,” sapa seorang pria dengan ramah menyambut kedatangan saya. Keramahan
pria yang kemudian saya ketahui bernama Kang Sanga dan juga orang-orang yang
ada di rumah ini membuat rasa lelah setelah perjalanan dengan ojek hampir 1,5
jam yang melelahkan karena medan yang berat pun sirna seketika. Untuk yang belum pernah ke pedalaman ini tentu bakal terkaget-kaget dengan kondisi jalan yang super duper terjal, batu-batuan besar dan berliku. Menguras energi dan adrenalin, untungnya kanan-kiri disuguhi pemandangan yang luar biasa cantik. Yaa disitulah seninya, menyenangkan tapi melelahkan.
Kehangatan
Rumah Gede
Inilah Imah Gede atau rumah besar yang merupakan tempat untuk menerima tamu bagi siapa saja yang datang ke pusat kasepuhan Ciptagelar. Di imah gede ini, ada dua kamar yang dikhususkan untuk para tamu. Saya dan para tamu perempuan ditempatkan di kamar tamu di bagian depan. Di dalamnya terdapat dua ranjang tempat tidur lengkap dengan bed cover dan dua sajadah untuk menunaikan ibadah sholat. Meski sederhana, namun sangat nyaman.
Inilah Imah Gede atau rumah besar yang merupakan tempat untuk menerima tamu bagi siapa saja yang datang ke pusat kasepuhan Ciptagelar. Di imah gede ini, ada dua kamar yang dikhususkan untuk para tamu. Saya dan para tamu perempuan ditempatkan di kamar tamu di bagian depan. Di dalamnya terdapat dua ranjang tempat tidur lengkap dengan bed cover dan dua sajadah untuk menunaikan ibadah sholat. Meski sederhana, namun sangat nyaman.
Imah gede merupakan bangunan utama di pusat kasepuhan
Ciptagelar yang didirikan sejak tahun 2000 silam. Sebelumnya pusat kasepuhan
ini berada di Kampung Ciptarasa, Desa Sirnaresmi yang berjarak sekitar 15 KM
dari Kampung Gede Ciptagelar saat ini. Konon, kepindahan pusat kasepuhan
dilakukan karena berdasarkan wangsit yang diterima oleh mendiang Encup Sucipta
alias Abah Anom, pemimpin kasepuhan pada saat itu.
Rumah panggung berlantai papan kayu dan bilik bambu ini,
salah satu dari beberapa rumah panggung yang ada di kawasan ini. Sesuai
namanya, tinggi maupun luasnya sangat mencolok dibanding dengan rumah lainnya.
Saat itu, saya bukan satu-satunya tamu yang datang.
Beberapa wisatawan lokal baik yang datang perorangan maupun melalui kelompok
traveling, para peneliti, anggota komunitas, dan sejumlah jurnalis dari stasiun
televisi sudah lebih dulu tiba untuk melihat lebih dekat ritual serah ponggokan yang dilangsungkan
selama tiga hari berturut-turut. “Masyarakat kasepuhan Ciptagelar ini memiliki
banyak ritual dan prosesi, setiap saya datang ke sini selalu ada prosesi dan
semuanya sangat menarik,” kata Zacky dari penyelenggara perjalanan wisata Lokal
Indonesia (LokalId).
Yang menarik perhatian saya adalah keberadaan puluhan
pria yang mengenakan baju serba hitam dan ikat kepala bermotif batik. Mereka
membuat kelompok-kelompok kecil dan duduk bersila sambil menikmati kopi dan
rokok. Sambil duduk bersila para pria yang rata rata sudah berusia lanjut ini
tampak asyik bercerita dengan menggunakan bahasa Sunda. Masing-masing dari pria
ini membawa serta sebuah tas yang terbuat dari anyaman rotan atau disebut
kaneron.
Kesibukan 24 Jam di Pawon
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9bveYEqVi_SH_wJuzLVaUr5OKlLbJiWYqkmZqMAJ6MxehdkyXXpj1qt2Wrwczaw7_WHc9LrVqZVqnNh3BfyVuwY4DmHnMgvrQAtmiLftn7UITnqr4PvJ2YMf086sSpD0KLbLejBu7i_ll/s320/dapur.jpg)
Para tamu perempuan yang datang seperti saya juga
mengenakan kain sarung seperti baris bikang
dan wajib mengenakan iket (ikat
kepala) untuk para pria. Iket, kata kang Sanga, merupakan simbol kebersamaan
masyarakat kasepuhan ini. “Ini bukan sekedar hiasan kepala. Iket ini lambang
ikatan, bahwa kita satu, saudara sehingga kita harus selalu bersama-sama, tidak
boleh tercerai-berai,” tuturnya kepada saya.
Dengan mengenakan kain sarung dan kebaya, baris bikang terbagi dalam beberapa
kelompok sesuai bahan masakan yang mereka siapkan. Sambil bersenda gurau mereka
mengerjakan bagian yang menjadi tugas masing-masing.
Ada yang khusus menanak nasi, menggoreng ikan, membuat
sambel, menyiangi sayuran, membuat bumbu, di bagian samping empat orang wanita
bertugas mencuci. Mulai dari mencuci piring, gelas dan perabotan, sayuran,
beras dan lainnya.
Pawon di rumah ini sangat luas, lebih luas dari ruang
tamu. Pawon terdapat dua kamar, kamar pertama untuk menyimpan bahan makanan dan
makanan yang sudah siap saji. Kamar kedua, merupakan gudang yang khusus
menyimpan nasi. Pawon memiliki dua parako atau tempat khusus yang di atasnya
terdapat deretan tungku atau hawu
untuk memasak yang senantiasa menyala hampir 24 jam setiap harinya.
Ada 6 hawu yang
berjejer rapi untuk memasak makanan warga, tamu dan pekerja di rumah ini, parako kedua letaknya di belakang
merupakan khusus untuk memasak makanan yang akan dihidangkan kepada Abah Ugi,
pemimpin kasepuhan dan keluarganya.
Di imah gede ini, tempat khusus tungku ditempatkan
memiliki nama-nama khusus. “Bagian bawah tempat tungku didirkan namanya parako, hawu atau tungkunya sendiri disebut paraseuneu. Rak di bagian atas disebut parasuluh yakni tempat menyimpan kayu bakar sedangkan bagian
samping atau depan atas disebut paradaun.
Kalau paling atas disebut para atau langit-langit biasanya dijadikan gudang,”
jelas Kang Yoyo, Jurubicara Kasepuhan Ciptagelar.
Masih di pawon, saya melihat seorang perempuan muda
mengenakan kain sarung hitam dipadu kebaya hitam bermotif brokat warna silver dengan
rambut disanggul cepol duduk di atas karpet bewarna coklat muda. Dialah Mak
Alit, istri Abah Ugi Sugriana Rakasiwi atau biasa dipanggil Abah Ugi merupakan
Sepuh Girang atau pemimpin Kasepuhan Ciptagelar yang ke-XI sejak tercatat
menjadi kasepuhan pada tahun 1368 M.
Wanita berparas cantik dengan kulit putih bersih ini dari tempat duduknya
sibuk mengawasi aktivitas dapur. Semua urusan domestik seperti jamuan untuk
para tamu, dapur, kebersihan, kamar, sampai
kamar mandi, Mak Alit lah yang
bertanggung-jawab, Ibu dua anak yang terlihat luwes di balik kebayanya ini
tampak berbincang dengan beberapa pria.
Beberapa pria datang menghampiri memberikan laporan, Mak
Alit manggut-manggut dan kemudian memberikan arahan. Untuk menjumpai Mak Alit
kita cukup ke dapur.Ketika saya mendatanginya dan menjabat tangan, Mak Alit dengan
ramah menyambut kami seraya bangun dari tempat duduknya. “Tos tuang teu acan? Sok mangga saaya-aya pami di deu mah tong namu nya.
Sudah makan belum? Silahkan seadanya di sini ya jangan seperti tamu,” tutur
Mak Alit dengan senyum ramah.
Di imah gede ini, para tamu yang datang tidak akan
kelaparan, makanan dengan menu sederhana dan nikmat selalu tersedia di meja
prasmanan. Seperti selama saya berada di imah gede, saya kerap nambah
berkali-kali, padahal menu-nya terbilang sederhana. Sarapan pagi disediakan
menu telor dadar, ikan asin japuh, kerupuk, sayur tempe dihidangkan bergantian
dengan sayur sawi hijau.
Sambal honje (batang kecombrang) benar-benar khas di lidah
selain pedasnya bukan main, semakin nikmat disajikan dengan nasi pulen hangat yang
berasnya berasal dari padi yang ditumbuk. Para tamu dilayani dengan baik, semua
ini tentu saja tidak lepas dari peran Mak Alit sebagai penaggungjawab pawon di rumah ini.
Tidak jauh dari tempat duduk Mak Alit seorang perempuan
paruh baya yang masih terlihat gurat kecantikannya tak kalah hangat menyambut
kami, dialah Mak Ageung, Ibu dari Abah Ugi yang kala itu erat memeluk saya.
Kedua perempuan ini menjadi tokoh penting di pawon imah gede.
Di tengah kesibukannya mengawasi aktivitas di dapur,
Mak Alit dengan ramah berbincang dengan kami, ia juga dengan sabar menjawab
beberapa pertanyaan dari saya. Dari Mak Alit saya mengetahui bahwa baris bikang
ini bekerja di dapur dengan sukarela. Mereka datang dari berbagai tempat yang
ada di kawasan Ciptagelar bahkan tidak sedikit yang datang dari kampung, dusun
yang jauh di balik gunung dan bukit. Bahkan ada yang berjalan kaki hingga
berjam-jam.
Pawon Berperan
Penting di Imah Gede
Dalam mengawasi urusan dapur, perempuan bernama Desri
ini dibantu oleh Mak Uwok. Mak Uwok merupakan kepala dapur yang
bertanggungjawab dalam mengendalikan operasional pawon. Mak Uwok dibantu oleh
dua wakilnya Mak Asti dan Mak Miah. Ketiganya masuk dalam jajaran Baris Kolot
atau Dewan Sesepuh Ciptagelar ini telah bertugas mengendalikan dapur secara
turun temurun dari orang tuanya masing-masing.
Mak Uwok di tengah kondisinya yang sudah sepuh dan
bongkok namun gerakannya gesit. Ia tampak memberikan tampak sibuk wira-wiri
memberikan instruksi kepada para wanita yang sedang memasak. Matanya dengan
cermat menyisir semua persiapan di dapur. Mak Uwok memang dikenal sebagai
kepala dapur yang disegani. Semua baris bikang yang memasak di dapur pun sangat
patuh kepada perempuan berusia 60 tahun ini.
Di kasepuhan ini, dapur berperan penting dalam
keberlangsungan aktivitas sehari-hari. Setidaknya, tiga juta rupiah dihabiskan
untuk membeli bahan-bahan keculi beras untuk disiapkan menjadi hidangan di imah
gede.
Kesibukan di pawon imah gede semakin padat sejak
beberapa hari terakhir karena berkaitan dengan akan digelarnya upacara serah
ponggokan. Selain memasak untuk sarapan pagi, makan siang dan malam, para baris bikang di pawon ini juga harus
menyiapkan ratusan tumpeng nasi kabuli. Nasi Kabuli, menurut masyarakat
setempat diyakini sebagai nasi yang dikabulkan. Mengapa demikian, karena nasi
kabuli akan dihidangkan setelah dilakukan doa bersama.
Nasi Kabuli Sangu Kabuli
Khas Ciptagelar
Jika biasanya, nasi kabuli kita jumpai disajikan
dengan campuran daging kambing dan bumbu rempah berwarna kuning. Maka tidak
demikian halnya dengan nasi kabuli di masyarakat ini. Nasi kabuli di kasepuhan
ini dimasak dengan cara dan bahan-bahan yang berbeda.
Sebelum dimasak dengan aseupan, yakni alat masak yang terbuat dari anyaman bambu tipis
berbentuk tabung segitiga, semua dan bahan-bahan lauk pauk terlebih dahulu
dikumpulkan dalam satu wadah baskom.
Bahan-bahannya, terdiri dari kelapa yang sudah diberi
bumbu dan disangrai kemudian ditambahkan bahan-bahan lainnya, yakni telor
rebus, irisan cabe hijau, daun bawang, ikan asin japuh, potongan batang honje,
mie rebus dan empat-lima potong ayam bumbu kuning ungkeb dan jengkol muda yang
kian menguggah selera. “Jadi semua bahan ini kita kumpulkan dulu biar pas
takaran dan jumlahnya. Nanti semuanya dimasukkan kedalam beras kemudian
dimasak. Jadi semacam tumpeng isinya bahan-bahan ini,” tutur Mak Alit.
Saya yang sangat penasaran dengan cara memasak nasi
kabuli ini pun tak beranjak untuk melihat lebih dekat proses pembuatannya.
Apalagi, nasi kabuli ini dibuat dalam jumlah yang sangat banyak, lebih dari
seratus tumpeng karena bagian dari rangkaian acara ritual serah ponggokan.
“Nasi kabuli ini merupakan ciri khas di mana gotong royong sedang dilakukan warga. Kalau
ada gotong royong pasti ada nasi kabuli, begitu juga sebaliknya kalau ada nasi
kabuli pasti ada gotong royong,” jelas Kang Yoyo
Nasi Kabuli dibuat secara massal. Seperti malam itu, ada
dua kelompok deretan baskom, kata Mak Alit, lima puluh baskom dimasak di dapur
imah gede, sementara sisanya dibagikan kepada warga untuk di masak di rumah
masing-masing. “Nasi kebuli ini untuk mengirim kita sajikan setelah pembacaan doa
besok. Kita kirim doa untuk keselamatan kita yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal dunia. Lima puluh di masak di sini sisanya warga yang masak, besok
akan dibawa ke sini sesudah matang, setelah doa selesai kita makan bersama-sama”
jelas Mak Alit.
Tidak lama kemudian dari pengera suara terdengar
pengumuman yang ditujukan kepada para ibu yang sedang tidak bertugas di Pawon Imah
Gede agar segera mengambil baskom berisi bahan untuk nasi kabuli.
Tidak sampai lima belas menit, para wanita berduyun-duyun
datang mengambil baskom untuk mereka bawa pulang. “Ibu-ibu mangga diantos di pawon imah gede, bahan-bahan sangu kabuli
kanggo enjing parantos sayogi, mangga dicandak ayuena. Ibu-ibu ditunggu di
dapur imah gede, bahan-bahan untuk nasi kabuli untuk besok sudah siap, silahkan
diambil,” tutur seorang pria dari balik pengera suara.
Para Pria
Turun Tangan ke Pawon di Malam Hari
Malam semakin larut, namun aktivitas di dapur tetap
berjalan. Aktivitas Pawon memang tidak pernah berhenti selama 24 jam setiap
harinya. Namun, dari wajah-wajahnya terlihat berbeda.
Rupanya para wanita yang memasak siang hari sebagian
besar sudah digantikan dengan wajah-wajah yang baru. “Kami bergantian, supaya
yang lain bisa istirahat, tapi ada juga yang lanjut dan sudah beberapa hari
masak di sini” tutur seorang wanita kepada saya dengan logat Bahasa Sunda yang
halus.
Jika sepanjang siang saya melihat lebih banyak wanita
yang bertugas di dapur ini. Namun, ketika malam semakin larut, para pria banyak
saya jumpai di dapur. Mereka membantu menyelesaikan tugas para perempuan yang
sudah lelah dan beristirahat. Beberapa perempuan terlihat tidur lelap dengan
hanya berbantal tangan yang dilipat sebagai alas. Sambil menunggu sangu kabuli
matang, para pria duduk membuat lingkaran sambil mengobrol di depan tungku
seperti sedang menggelar api unggun ditemani segelas kopi hitam dan rokok.
Sementara itu, tidak jauh dari dapur, terdapat sebuah
panggung yang memainkan gamelan mengiringi suara sinden yang menghibur mereka
yang bertugas di dapur. Ada tiga panggung lainnya yang malam itu mengiringi
aktivitas di dapur yang tiada pernah berhenti selama 24 jam selama beberapa
hari terakhir jelang serah ponggokan. Panggung pertama menyajikan angklung,
panggung kedua jipeng atau orkes seni sunda dan wayang golek yang mulai
dimainkan dari pukul sebelas malam hingga dini hari.
Malam itu sang dalang mengangkat beragam tema yang
syarat makna sebagai pengingat bahwa hidup harus seimbang, menjalankan
kewajiban sebagai hamba kepada Tuhan, hubungan baik sesama manusia dan yang
menggelitik saya adalah tentang kekhwatiran sang dalang atas kemajuan teknologi
internet. “Ayeuna zaman internet, handphone caraanggih, omat ulah jongjon
teuing, awasi barudak urang ulah kapangaruhan anu negatif. Tah, candak anu
saena, kantunkeun anu awona. Ulah sampe urang leungit kapribadian gara-gara
kemajuan teknologi,” tutur sang dalang.
Menjalankan Tugas Secara Turun Temurun
Menariknya, dari obrolan saya dengan Mak Alit dan para
baris bikang di pawon ini. Mereka bertugas di pawon ini sesuai dengan tugas
orang tua mereka sebelumnya, dengan kata lain pekerjaan yang mereka lakukan
telah secara turun temurun dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya yang
dalam istilah masyarakat ini disebut kumawula
atau mengabdi. “Masing-masing sudah ada tupoksinya. Tidak akan bertubrukan atau
rebutan, tertib dan teratur secara turun temurun,” tutur Kang Yoyo.
Jadi, jika saat ini kebagian tugas mencuci piring,
berarti orang tuanya mencuci piring dan seterusnya seperti itu. Mak Beti dan
Mak Mis misalnya, dua wanita paruh baya ini kebagian menanak nasi. “Ibu saya dulu
juga masak nasi, jadi saya nerusin tugas Ibu saya, “ tutur wanita ini dengan
ramah ketika saya mendekatinya di dekat tungku perapian tempat menanak nasi
atau parasene.
Mak Mis bahkan bercerita kepada saya kalau setiap hari ia berjalan kaki dari rumahnya selama 2 jam setengah. “Rumah saya jauh dari sini, biasnya kalo jalan kaki sekitar dua jam setengah, kalau ada uang ya numpang mobil bak” tuturnya tersenyum. Mis mengaku tidak dibayar, ia ikhlas menjalani tugasnya sebagai juru dapur di pawon ini meneruskan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh orang tuanya.
Kepada saya, Mak Mis mengaku senang bisa kumawula dengan memasak nasi sejak
masih muda hingga saat ini. “Senang
karena di sini makan cukup, segala resiko dicukupi, makan dikasih, nanti pulang
juga dikasih bekal,” tuturnya dengan
mata berbinar sehingga saya tak bisa menyangsikan ketulusan wanita berkulit
sawo matang ini. Senada dengan Mak Mis, Mak Beti juga menyampaikan hal serupa,
bagi kedua perempuan ini kumawula menjadi sesuatu yang dijalani dengan penuh
sukarela dan sukacita sekaligus.
Tradisi Nutu Ponggokan
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali satu persatu baris
bikang mulai berdatangan. Ada yang berjalan kaki, menumpang motor maupun
berkelompok dengan menumpang mobil bak terbuka. Selama di Ciptagelar hampir
saya tidak pernah menjumpai perempuan mengendarai motor sendiri.
Para wanita ini berasal dari ratusan kampung yang tersebar di kawasan Kasepuhan Ciptagelar. Mereka menenteng bawaan, ada yang membawa kelapa tua yang sudah dikupas, gula merah ada juga yang membawa nasi kebuli.
Mak Ara, perempuan paruh bayah yang baru turun dari mobil bak
terbuka dengan ramah menjawab pertanyaan saya ketika saya bertanya apa di balik
bungkusan besar yang ia bawa, “Ini emak bawa nasi kebuli, mau dikasih ke pawon Imah
Gede,” tuturnya sembari bergegas menuju Imah Gede. Mereka membawa apa saja yang
mereka miliki untuk diserahkan ke pawon untuk kemudian dihidangkan kembali
secara bersama-sama. Apa yang dilakukan Mak Ara dan para wanita ini di
Ciptagelar istilahnya disebut ngalaukan.
Sekitar pukul delapan pagi, halaman imah gede dan
sekitarnya semakin ramai dipadati kaum wanita yang datang secara khusus untuk
nutu pare atau menumbuk padi. Menumbuk padi atau Nutu Ponggokan merupakan
salah satu prosesi penting dalam rangkaian serah ponggokan yang menjadi bagian
rangkaian akhir jelang ritual puncak Seren
Taun.
Baris bikang yang nutu ponggokan hanya diperkenankan
mereka yang sudah, gadis yang sudah menstruasi, baris bikang yang sudah menikah
dan belum menopause. Sementara untuk
para gadis yang belum menstruasi dan wanita yang sudah menopause diperkenankan
menumbuk padi dalam kesempatan berbeda yang disebut Nutu Rasul.
Sebelum menumbuk padi, para pria mulai memikul padi
yang sudah dikeringkan yang sudah diikat yang disebut dengan pocongan. Pocongan
padi berasal dari warga kemudian dikumpulkan sementara di balai pertemuan untuk
kemudian ditumbuk menjadi beras. Saat membawa padi dari leuit atau gudang
penyimpanan beras, padi dilarang diangkut dengan kendaraan, tetapi harus
dipikul dengan berjalan kaki.
Sebuah gubuk tanpa bilik yang berada tak jauh dari
imah gede menjadi salah satu tempat baris bikang menumbuk padi. Di sini
tersedia lima lesung. Selain di tempat ini, kegiatan menumbuk padi ini juga
dilakukan di sejumlah titik di sekitar Ciptagelar.
Pocongan padi dipotong dengan menggunakan golok dan
dikumpulkan dalam bakul kemudian ditaruh di lesung-lesung kayu yang tersedia. Lesung
memiliki dua bagian yang cekung ke dalam, pertama berbentuk bulat yang berada
di bagian ujung. Bagian berlubang ini untuk menumbuk beras yang sudah mulai
terkelupas cangkannya, sementara yang bagian lebih besar memanjang untuk
menumbuk padi yang masih berbentuk gabah.
Belum lima menit saya sudah mulai kewalahan mengikuti
ritme para perempuan yang menumbuk padi satu lesung dengan saya, saya pun
mencoba mengayak padi denggan menggunakan nyiru
atau disebut napi. Napi dengan menggunakan nyiru,
keliatannya mudah. Tapi lagi-lagi tidak semudah keliatannya. Mak Ara dengan
sabar mengajari saya bagaimanz menggerakkan nyiru agar gabah dan beras yang
bersih bisa terpisah.
Baris bikang kemudian mengambil posisi untuk mulai
menumbuk dengan alu. Suara alu beradu dengan lesung menimbulkan irama yang khas
berpadu dengan suara serupa dari kejauhan. Suaranya bersahutan, dalam istilah
masyarakat setempat disebut tutunggulan.
Irama yang membuat saya semakin terpesona terlebih dari panggung dekat imah
gede dimainkan gamelan yang memainkan
irama salendro dan pelog lengkap dengan seruling. Sebuah pagi yang
berbeda bagi saya yang terbiasa dengan hiruk pikuk di kota besar.
Saya tentu saja tidak hanya menjadi penonton, saya
berusaha untuk bisa merasakan langsung menumbuk padi. Saya bersama lima bikang
berada di sisi kiri dan lima bikang lainnya berada di sisi kanan. Alu dengan
panjang sekitar dua meter yang saya pegang sebenarnya tidak terlalu berat, tapi
saya harus memegangnya dua tangan. Aaahhh
ternyata berat!
Serah Ponggokan Ritual Penting Sebelum Seren Taun
Serah Ponggokan merupakan salah satu ritual penting yang bisa juga dibilang sebagai ritual terakhir jelang ritual puncak Seren Taun bagi masyarakat kasepuhan Ciptagelar. Seren taun sendiri merupakan ritual penutup tahun kalender pertanian kasepuhan yang digelar secara besar-besaran oleh masyrakat adat ini. Tahun ini, Seren Taun dijadwalkan pada tanggal 15 sampai 17 September mendatang.
Sebelum Seren Taun, terlebih dahulu digelar serah
ponggokan yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut ditandai dengan
berbagai kegiatan diantarnya adalah sensus atau pendaatan jumlah warga, hewan
peliharaa, kendaraan bermotor, mesin, leuit (lumbung padi), gula kelapa, atap
dari injuk dan lainnya.
Tercatat tahun ini, Kasepuhan yang telah berusia lebih
dari 649 tahun ini memiliki penduduk sekitar 40 ribu ribu jiwa baik yang
menetap di kawasan kasepuhan maupun di luar daerah bahkan luar negeri. Selain
sensus penduduk, serah ponggokan ini merupakan waktu penyerahan iuran dari
warga melalui sesepuh kampung kepada pengurus kasepuhan.
Itulah sebabnya, selama serah ponggokan ini, imah gede
dipadati para sesepuh kampung yang datang dari sekitar hampir 568 kampung yang
tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Jawa Barat. Selain sesespuh kampung,
ritual tiga hari serah ponggokan ini juga menjadi ajang bagi para warga
kasepuhan yang merantau untuk pulang kampung.
Proses pendataan dan penyerahan iuran berlangsung di
balai pertemuan, mereka juga melangsungkan pertemuan secara tertutup di ruang
Imah Tiang Kalapa dengan Abah Ugi selaku pemimpin kasepuhan.
Dalam serah
ponggokan tahun ini, Kasepuhan Ciptagelar berhasil mengumpulkan tidak
kurang dari Rp. 481.317.000,- dari
warganya. Jumlah ini masih sementara dan dipastikan akan bertambah hingga
pelaksanaan upacara seren taun.
Jumlah tersebut berasal dari iuran Rp.1000,- per orang/jiwa,
kendaraan bermotor dikenai iuran Rp.5000, sampai dengan Rp.25.000,-
Uang yang terkumpul digunakan untuk kepentingan
masyarakat diantaranya untuk membiayai berjalannya ritual serah ponggokan dan
seren taun atau disebut ngalaukan dan
kepentingan umum masyarakat kasepuhan Ciptagelar lainnya. Swadaya ini telah berlangsung
selama ratusan tahun.
Menurut catatan sejarah, Kasepuhan Ciptagelar sudah
berdiri pada tahun 1368 M sekitar tahun 649 tahun lalu jauh sebelum Bangsa Barat
menjajah nusantara. Mereka dipimpin oleh seorang kepala kasepuhan berdasarkan
garis keturunan dan saat ini kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi, yang
menggantikan mendiang ayahnya, Abah Anom yang wafat tujuh tahun silam.
Abah Ugi dalam menjalankan tugasnya sebagai pempimpin
dibantu oleh dewan sesepuh yang tergabung dalam Baris Kolot. “Meskipun saya
lebih tua secara usia, kami tetap memanggil Abah kepada pemimpin kami yang
usianya jauh lebih muda dari kami, ini adalah sebutan penghormatan kepada
pemimpin,” tutur Aki Katna, salah seorang Baris Kolot.
Aki Katna dan para Baris Kolot lainnya dengan setia
menjadi pendamping, dewan penasihat sekaligus menjadi orang tua bagi Abah Ugi dan
masyarakat kasepuhan secara umum dalam menjalankan sendi-sendi kehidupan.
Sebagai sebuah komunitas masyarakat adat, selain
memiliki jatidiri sebagai masyarakat yang tetap teguh memegang tradisi leluhur,
Kasepuhan Ciptagelar memang sangat mandiri. Dengan menggunakan biaya yang
dikumpulkan secara swadaya selama turun temurun, kasepuhan ini memiliki sumber
listrik sendiri sejak tahun 1980 silam, irigasi dan air bersih untuk keperluan
rumah tangga mengalir jernih melalui pipa dari mata air ke rumah-rumah warga,
hingga saluran televisi dan radio sendiri.
Sedangkan untuk infrastruktur yakni jalan, memang
masih belum merata pembangunannya. Masih terdapat jalan bebatuan terjal yang
belum bisa dilalui mobil dan hanya bisa dilalui kendaraan bermotor sehingga
masih perlu peran pemerintah lebih maksimal.
Memiliki Stock
Pangan untuk 80 Tahun Mendatang
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat
kasepuhan ini tidak lepas dari siklus padi. Padi bagi masyarakat yang hidup di
antara pegunungan Halimun ini bukan sekedar bahan konsumsi tetapi merupakan penjelamaan
dewi yang sangat dihormati bernama Nyai Dewi Pohaci.
Siklus kalender padi itu mulai dari ngaseuk (menanam benih padi), sapang jadian pare, selametan pare ngidam,
mapag pare beukah, upacara sawenan, syukuran mipit pare, nganyaran/ngabukti, ponggokan dan lainnya. Karena
meyakini padi sebagai Dewi yang memberikan kehidupan, masyarakat kasepuhan ini
sangat merawat padi dengan baik bahkan mematuhi larangan memperjualbelikan
padi. Dalam satu tahun, kasepuhan ini memiliki tidak kurang dari 53 ritual yang
kesemuanya berdasarkan siklus padi.
Masyarakat adat Ciptagelar menanam padi hanya satu
kali dalam satu tahun, hal ini mereka lakukan dengan keyakninan bahwa tanah
atau bumi harus istirahat sehingga tidak dibolehkan menanam padi lebih dari
satu kali dalam satu tahun seperti daerah daerah lainnya di Indonesia. “Bumi
adalah Ibu, Ibu sudah memberi kita kehidupan dengan padi yang berlimpah, ada
saatnya harus kita istirahatkan, tidak boleh ditanami apapun,” jelas Aki Katna.
Meski hanya satu kali panen dalam satu tahun,
Ciptagelar memiliki ketahanan pangan yang luar biasa, bahkan kerap mengundang
perhatian dunia. Banyak sudah penelitian para ilmuwan dalam dan luar negeri
datang ke tempat ini, untuk melihat lebih dekat bagiamana kasepuhan ini mampu
membudidayakan padi dengan sangat baik.
Saat ini, Ciptagelar memiliki 9.142 leuit atau lumbung padi yang berisi tidak kurang dari 1.050.803 (satu
juta lima puluh ribu delapan ratus tiga) pocongan padi yang siap ditumbuk
menjadi beras. “Jika di tempat-tempat lain di Indonesia banyak yang gagal
panen, di Kasepuhan ini justru hasil panen terus meningkat. Percaya atau tidak,
setiap ada tempat yang gagal panen, padinya pindah ke tempat kami, itulah
sebabnya padi di tempat kami terus bertambah,” kata Kang Yoyo.
Keberhasilan membudidayakan padi kasepuhan Ciptagelar
terus dilakukan dengan memegang teguh tradisi leluhur. Karena keberhasilan
mereka, stock padi Ciptagelar disebut-sebut cukup untuk 80 tahun ke depan.
“Lahan yang kami tanami tetap, konsumsi beras semakin tinggi karena jumlah
warga yang terus bertambah akan tetapi stock kami terus bertambah. Penambahan
ini ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah leuit setiap tahun. Abah Ugi
setiap tahunnya bisa menambah 8 leuit untuk menampung hasil panen. Inliah
berkah,” jelas Kang Yoyo.
Karena prestasinya dalam mengelola ketahanan pangan
itulah, Ciptagelar kerap meraih berbagai penghargaan dalam dan dan luar negeri.
Salah satunya adalah penghargaan Internasional sebagai The First Eco Medal Awards for Ecology and environment dari Dutch
Design Week, Belanda pada tahun 2015 lalu. “Kalau kami tidak pernah merasa
penghargaan ini secara khusus diberikan kepada kami, melainkan bagi semua pihak
yang telah menjaga keselamatan dan menjaga keseimbangan bumi, di manapun
berada,” jelas Kang Yoyo.
Teguh Memegang
Tradisi
Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern,
Kasepuhan Ciptagelar dengan setia menjalankan kehidupan berlandaskan azas
kebersamaan, semangat gotong royong dan teguh menjalankan tradisi leluhur.
“Kami ini generasi penerus, kami menjalankan apa yang
sudah dilakukan para leluhur, sebagai generasi penerus kami wajib
melestarikannya agar berkah ini terus terjaga. Tentunya, bukan hanya untuk kami
tapi untuk generasi berikutnya,” jelas Aki Katna.
Tradisi yang tetap terjaga warisan nenek moyang itu
diantaranya beragam ritual, salah satunya ritual ponggokan, sebuah ritual yang membawa
langkah saya untuk melihat lebih dekat kearifan lokal masyarakat yang masuk
dalam kesatuan adat Banten Kidul tersebut. Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan saya kali ini, sampai jumpa dalam catatan perjalanan saya berikutnya!!
Sekali-kali ajak jalan pasukan PejuangOnline yo ndan Teteh Yaomi Geulis Pisan
BalasHapusSiaaapp Jendral
Hapus