Lebih Dekat dengan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

Sebenarnya artikel saya yang satu ini saya copas dari artikel yang saya tulis untuk Koran Sindo, jadi bahasanya memang lebih formal ketimbang artikel seorang blogger.  Ini sekaligus menjelaskan kepada pembaca setia blog ini yang kasih comment beberapa waktu lalu. anyway thank you untuk kritik pedasnya lumayan gigit.... :) 

Semangat gotong-royong menjadi urat nadi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semangat yang diwariskan para leluhur sejak ratusan tahun ini pula yang menjadi perekat kehidupan nan harmonis meski zaman terus berubah.


Matahari belum terlalu tinggi ketika saya tiba di Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kampung Gede Ciptagelar, Cikarancang, Cicemet, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat belum lama ini.

Siang itu, beberapa pria mengenakan baju serba hitam dan ikat kepala bermotif batik coklat menyambut saya ketika saya memasuki sebuah rumah besar yang merupakan tempat berkumpulnya para tamu. “Selamat datang di Imah Gede, mari silahkan masuk,” sapa seorang pria  dengan ramah menyambut kedatangan saya. Keramahan pria yang kemudian saya ketahui bernama Kang Sanga dan juga orang-orang yang ada di rumah ini membuat rasa lelah setelah perjalanan dengan ojek hampir 1,5 jam yang melelahkan karena medan yang berat pun sirna seketika.  Untuk yang belum pernah  ke pedalaman ini tentu bakal terkaget-kaget dengan kondisi jalan yang super duper terjal, batu-batuan besar dan berliku. Menguras energi dan adrenalin, untungnya kanan-kiri disuguhi pemandangan yang luar biasa cantik. Yaa disitulah seninya, menyenangkan tapi melelahkan.

Kehangatan Rumah Gede
Inilah Imah Gede atau rumah besar yang merupakan tempat untuk menerima tamu bagi siapa saja yang datang ke pusat kasepuhan Ciptagelar. Di imah gede ini, ada dua kamar yang dikhususkan untuk para tamu. Saya dan para tamu perempuan ditempatkan di kamar tamu  di bagian depan. Di dalamnya terdapat dua ranjang tempat tidur lengkap dengan bed cover dan dua sajadah untuk menunaikan ibadah sholat. Meski sederhana, namun sangat nyaman.  


Imah gede merupakan bangunan utama di pusat kasepuhan Ciptagelar yang didirikan sejak tahun 2000 silam. Sebelumnya pusat kasepuhan ini berada di Kampung Ciptarasa, Desa Sirnaresmi yang berjarak sekitar 15 KM dari Kampung Gede Ciptagelar saat ini. Konon, kepindahan pusat kasepuhan dilakukan karena berdasarkan wangsit yang diterima oleh mendiang Encup Sucipta alias Abah Anom, pemimpin kasepuhan pada saat itu. 

Rumah panggung berlantai papan kayu dan bilik bambu ini, salah satu dari beberapa rumah panggung yang ada di kawasan ini. Sesuai namanya, tinggi maupun luasnya sangat mencolok dibanding dengan rumah lainnya.

Saat itu, saya bukan satu-satunya tamu yang datang. Beberapa wisatawan lokal baik yang datang perorangan maupun melalui kelompok traveling, para peneliti, anggota komunitas, dan sejumlah jurnalis dari stasiun televisi sudah lebih dulu tiba untuk melihat lebih dekat ritual serah ponggokan yang dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut. “Masyarakat kasepuhan Ciptagelar ini memiliki banyak ritual dan prosesi, setiap saya datang ke sini selalu ada prosesi dan semuanya sangat menarik,” kata Zacky dari penyelenggara perjalanan wisata Lokal Indonesia (LokalId).

Yang menarik perhatian saya adalah keberadaan puluhan pria yang mengenakan baju serba hitam dan ikat kepala bermotif batik. Mereka membuat kelompok-kelompok kecil dan duduk bersila sambil menikmati kopi dan rokok. Sambil duduk bersila para pria yang rata rata sudah berusia lanjut ini tampak asyik bercerita dengan menggunakan bahasa Sunda. Masing-masing dari pria ini membawa serta sebuah tas yang terbuat dari anyaman rotan atau disebut kaneron.

Kesibukan 24 Jam di Pawon  


Jika di ruang tamu dan teras tampak para pria bercengkrama, pemandangan berbeda justru terlihat di dapur atau pawon. Di pawon imah gede ini para perempuan atau baris bikang tampak sibuk menyiapkan segala hidangan untuk menjamu para tamu yang sejak beberapa hari terakhir terus berdatangan dari berbagai kampung di wilayah kasepuhan.

Para tamu perempuan yang datang seperti saya juga mengenakan kain sarung seperti baris bikang dan wajib mengenakan iket (ikat kepala) untuk para pria. Iket, kata kang Sanga, merupakan simbol kebersamaan masyarakat kasepuhan ini. “Ini bukan sekedar hiasan kepala. Iket ini lambang ikatan, bahwa kita satu, saudara sehingga kita harus selalu bersama-sama, tidak boleh tercerai-berai,” tuturnya kepada saya.

Dengan mengenakan kain sarung dan kebaya, baris bikang terbagi dalam beberapa kelompok sesuai bahan masakan yang mereka siapkan. Sambil bersenda gurau mereka mengerjakan bagian yang menjadi tugas masing-masing.

Ada yang khusus menanak nasi, menggoreng ikan, membuat sambel, menyiangi sayuran, membuat bumbu, di bagian samping empat orang wanita bertugas mencuci. Mulai dari mencuci piring, gelas dan perabotan, sayuran, beras dan lainnya.

Pawon di rumah ini sangat luas, lebih luas dari ruang tamu. Pawon terdapat dua kamar, kamar pertama untuk menyimpan bahan makanan dan makanan yang sudah siap saji. Kamar kedua, merupakan gudang yang khusus menyimpan nasi. Pawon memiliki dua parako atau tempat khusus yang di atasnya terdapat deretan tungku atau hawu untuk memasak yang senantiasa menyala hampir 24 jam setiap harinya.

Ada 6 hawu yang berjejer rapi untuk memasak makanan warga, tamu dan pekerja di rumah ini, parako kedua letaknya di belakang merupakan khusus untuk memasak makanan yang akan dihidangkan kepada Abah Ugi, pemimpin kasepuhan dan keluarganya.

Di imah gede ini, tempat khusus tungku ditempatkan memiliki nama-nama khusus. “Bagian bawah tempat tungku didirkan namanya parako, hawu atau tungkunya sendiri disebut paraseuneu. Rak di bagian atas disebut parasuluh yakni tempat menyimpan kayu bakar sedangkan bagian samping atau depan atas disebut paradaun. Kalau paling atas disebut para atau langit-langit biasanya dijadikan gudang,” jelas Kang Yoyo, Jurubicara Kasepuhan Ciptagelar. 

Terpesona Kecantikan Mak Alit

Masih di pawon, saya melihat seorang perempuan muda mengenakan kain sarung hitam dipadu kebaya hitam bermotif brokat warna silver dengan rambut disanggul cepol duduk di atas karpet bewarna coklat muda. Dialah Mak Alit, istri Abah Ugi Sugriana Rakasiwi atau biasa dipanggil Abah Ugi merupakan Sepuh Girang atau pemimpin Kasepuhan Ciptagelar yang ke-XI sejak tercatat menjadi kasepuhan pada tahun 1368 M.

Wanita berparas cantik dengan  kulit putih bersih ini dari tempat duduknya sibuk mengawasi aktivitas dapur. Semua urusan domestik seperti jamuan untuk para tamu, dapur, kebersihan, kamar, sampai  kamar mandi,  Mak Alit lah yang bertanggung-jawab, Ibu dua anak yang terlihat luwes di balik kebayanya ini tampak berbincang dengan beberapa pria.

Beberapa pria datang menghampiri memberikan laporan, Mak Alit manggut-manggut dan kemudian memberikan arahan. Untuk menjumpai Mak Alit kita cukup ke dapur.Ketika saya mendatanginya dan menjabat tangan, Mak Alit dengan ramah menyambut kami seraya bangun dari tempat duduknya. “Tos tuang teu acan? Sok mangga saaya-aya pami di deu mah tong namu nya. Sudah makan belum? Silahkan seadanya di sini ya jangan seperti tamu,” tutur Mak Alit dengan senyum ramah.

Di imah gede ini, para tamu yang datang tidak akan kelaparan, makanan dengan menu sederhana dan nikmat selalu tersedia di meja prasmanan. Seperti selama saya berada di imah gede, saya kerap nambah berkali-kali, padahal menu-nya terbilang sederhana. Sarapan pagi disediakan menu telor dadar, ikan asin japuh, kerupuk, sayur tempe dihidangkan bergantian dengan sayur sawi hijau.

Sambal honje (batang kecombrang) benar-benar khas di lidah selain pedasnya bukan main, semakin nikmat disajikan dengan nasi pulen hangat yang berasnya berasal dari padi yang ditumbuk. Para tamu dilayani dengan baik, semua ini tentu saja tidak lepas dari peran Mak Alit sebagai  penaggungjawab pawon di rumah ini.

Tidak jauh dari tempat duduk Mak Alit seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat gurat kecantikannya tak kalah hangat menyambut kami, dialah Mak Ageung, Ibu dari Abah Ugi yang kala itu erat memeluk saya. Kedua perempuan ini menjadi tokoh penting di pawon imah gede.

Di tengah kesibukannya mengawasi aktivitas di dapur, Mak Alit dengan ramah berbincang dengan kami, ia juga dengan sabar menjawab beberapa pertanyaan dari saya. Dari Mak Alit saya mengetahui bahwa baris bikang ini bekerja di dapur dengan sukarela. Mereka datang dari berbagai tempat yang ada di kawasan Ciptagelar bahkan tidak sedikit yang datang dari kampung, dusun yang jauh di balik gunung dan bukit. Bahkan ada yang berjalan kaki hingga berjam-jam.

Pawon Berperan Penting di Imah Gede
Dalam mengawasi urusan dapur, perempuan bernama Desri ini dibantu oleh Mak Uwok. Mak Uwok merupakan kepala dapur yang bertanggungjawab dalam mengendalikan operasional pawon. Mak Uwok dibantu oleh dua wakilnya Mak Asti dan Mak Miah. Ketiganya masuk dalam jajaran Baris Kolot atau Dewan Sesepuh Ciptagelar ini telah bertugas mengendalikan dapur secara turun temurun dari orang tuanya masing-masing.

Mak Uwok di tengah kondisinya yang sudah sepuh dan bongkok namun gerakannya gesit. Ia tampak memberikan tampak sibuk wira-wiri memberikan instruksi kepada para wanita yang sedang memasak. Matanya dengan cermat menyisir semua persiapan di dapur. Mak Uwok memang dikenal sebagai kepala dapur yang disegani. Semua baris bikang yang memasak di dapur pun sangat patuh kepada perempuan berusia 60 tahun ini.

Di kasepuhan ini, dapur berperan penting dalam keberlangsungan aktivitas sehari-hari. Setidaknya, tiga juta rupiah dihabiskan untuk membeli bahan-bahan keculi beras untuk disiapkan menjadi hidangan di imah gede.

Kesibukan di pawon imah gede semakin padat sejak beberapa hari terakhir karena berkaitan dengan akan digelarnya upacara serah ponggokan. Selain memasak untuk sarapan pagi, makan siang dan malam, para baris bikang di pawon ini juga harus menyiapkan ratusan tumpeng nasi kabuli. Nasi Kabuli, menurut masyarakat setempat diyakini sebagai nasi yang dikabulkan. Mengapa demikian, karena nasi kabuli akan dihidangkan setelah dilakukan doa bersama.

Nasi Kabuli  Sangu Kabuli Khas Ciptagelar
Jika biasanya, nasi kabuli kita jumpai disajikan dengan campuran daging kambing dan bumbu rempah berwarna kuning. Maka tidak demikian halnya dengan nasi kabuli di masyarakat ini. Nasi kabuli di kasepuhan ini dimasak dengan cara dan bahan-bahan yang berbeda.

Sebelum dimasak dengan aseupan, yakni alat masak yang terbuat dari anyaman bambu tipis berbentuk tabung segitiga, semua dan bahan-bahan lauk pauk terlebih dahulu dikumpulkan dalam satu wadah baskom.

Bahan-bahannya, terdiri dari kelapa yang sudah diberi bumbu dan disangrai kemudian ditambahkan bahan-bahan lainnya, yakni telor rebus, irisan cabe hijau, daun bawang, ikan asin japuh, potongan batang honje, mie rebus dan empat-lima potong ayam bumbu kuning ungkeb dan jengkol muda yang kian menguggah selera. “Jadi semua bahan ini kita kumpulkan dulu biar pas takaran dan jumlahnya. Nanti semuanya dimasukkan kedalam beras kemudian dimasak. Jadi semacam tumpeng isinya bahan-bahan ini,” tutur Mak Alit.

Saya yang sangat penasaran dengan cara memasak nasi kabuli ini pun tak beranjak untuk melihat lebih dekat proses pembuatannya. Apalagi, nasi kabuli ini dibuat dalam jumlah yang sangat banyak, lebih dari seratus tumpeng karena bagian dari rangkaian acara ritual serah ponggokan.

“Nasi kabuli ini merupakan ciri khas di mana  gotong royong sedang dilakukan warga. Kalau ada gotong royong pasti ada nasi kabuli, begitu juga sebaliknya kalau ada nasi kabuli pasti ada gotong royong,” jelas Kang Yoyo

Nasi Kabuli dibuat secara massal. Seperti malam itu, ada dua kelompok deretan baskom, kata Mak Alit, lima puluh baskom dimasak di dapur imah gede, sementara sisanya dibagikan kepada warga untuk di masak di rumah masing-masing. “Nasi kebuli ini untuk mengirim kita sajikan setelah pembacaan doa besok. Kita kirim doa untuk keselamatan kita yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Lima puluh di masak di sini sisanya warga yang masak, besok akan dibawa ke sini sesudah matang, setelah doa selesai kita makan bersama-sama” jelas Mak Alit. 

Tidak lama kemudian dari pengera suara terdengar pengumuman yang ditujukan kepada para ibu yang sedang tidak bertugas di Pawon Imah Gede agar segera mengambil baskom berisi bahan untuk nasi kabuli. 

Tidak sampai lima belas menit, para wanita berduyun-duyun datang mengambil baskom untuk mereka bawa pulang. “Ibu-ibu mangga diantos di pawon imah gede, bahan-bahan sangu kabuli kanggo enjing parantos sayogi, mangga dicandak ayuena. Ibu-ibu ditunggu di dapur imah gede, bahan-bahan untuk nasi kabuli untuk besok sudah siap, silahkan diambil,” tutur seorang pria dari balik pengera suara.

Para Pria Turun Tangan ke Pawon di Malam Hari
Malam semakin larut, namun aktivitas di dapur tetap berjalan. Aktivitas Pawon memang tidak pernah berhenti selama 24 jam setiap harinya. Namun, dari wajah-wajahnya terlihat berbeda.

Rupanya para wanita yang memasak siang hari sebagian besar sudah digantikan dengan wajah-wajah yang baru. “Kami bergantian, supaya yang lain bisa istirahat, tapi ada juga yang lanjut dan sudah beberapa hari masak di sini” tutur seorang wanita kepada saya dengan logat Bahasa Sunda yang halus.

Jika sepanjang siang saya melihat lebih banyak wanita yang bertugas di dapur ini. Namun, ketika malam semakin larut, para pria banyak saya jumpai di dapur. Mereka membantu menyelesaikan tugas para perempuan yang sudah lelah dan beristirahat. Beberapa perempuan terlihat tidur lelap dengan hanya berbantal tangan yang dilipat sebagai alas. Sambil menunggu sangu kabuli matang, para pria duduk membuat lingkaran sambil mengobrol di depan tungku seperti sedang menggelar api unggun ditemani segelas kopi hitam dan rokok. 

Sementara itu, tidak jauh dari dapur, terdapat sebuah panggung yang memainkan gamelan mengiringi suara sinden yang menghibur mereka yang bertugas di dapur. Ada tiga panggung lainnya yang malam itu mengiringi aktivitas di dapur yang tiada pernah berhenti selama 24 jam selama beberapa hari terakhir jelang serah ponggokan. Panggung pertama menyajikan angklung, panggung kedua jipeng atau orkes seni sunda dan wayang golek yang mulai dimainkan dari pukul sebelas malam hingga dini hari.

Malam itu sang dalang mengangkat beragam tema yang syarat makna sebagai pengingat bahwa hidup harus seimbang, menjalankan kewajiban sebagai hamba kepada Tuhan, hubungan baik sesama manusia dan yang menggelitik saya adalah tentang kekhwatiran sang dalang atas kemajuan teknologi internet. “Ayeuna zaman internet, handphone caraanggih, omat ulah jongjon teuing, awasi barudak urang ulah kapangaruhan anu negatif. Tah, candak anu saena, kantunkeun anu awona. Ulah sampe urang leungit kapribadian gara-gara kemajuan teknologi,” tutur sang dalang. 

Menjalankan Tugas Secara Turun Temurun

Menariknya, dari obrolan saya dengan Mak Alit dan para baris bikang di pawon ini. Mereka bertugas di pawon ini sesuai dengan tugas orang tua mereka sebelumnya, dengan kata lain pekerjaan yang mereka lakukan telah secara turun temurun dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya yang dalam istilah masyarakat ini disebut kumawula atau mengabdi. “Masing-masing sudah ada tupoksinya. Tidak akan bertubrukan atau rebutan, tertib dan teratur secara turun temurun,” tutur Kang Yoyo.

Jadi, jika saat ini kebagian tugas mencuci piring, berarti orang tuanya mencuci piring dan seterusnya seperti itu. Mak Beti dan Mak Mis misalnya, dua wanita paruh baya ini kebagian menanak nasi. “Ibu saya dulu juga masak nasi, jadi saya nerusin tugas Ibu saya, “ tutur wanita ini dengan ramah ketika saya mendekatinya di dekat tungku perapian tempat menanak nasi atau parasene.

Mak Mis bahkan bercerita kepada saya kalau setiap hari ia berjalan kaki dari rumahnya selama 2 jam setengah. “Rumah saya jauh dari sini, biasnya kalo jalan kaki sekitar dua jam setengah, kalau ada uang ya numpang mobil bak” tuturnya tersenyum. Mis mengaku tidak dibayar, ia ikhlas menjalani tugasnya sebagai juru dapur di pawon ini meneruskan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh orang tuanya.

Kepada saya, Mak Mis mengaku senang bisa kumawula dengan memasak nasi sejak masih  muda hingga saat ini. “Senang karena di sini makan cukup, segala resiko dicukupi, makan dikasih, nanti pulang juga dikasih bekal,”  tuturnya dengan mata berbinar sehingga saya tak bisa menyangsikan ketulusan wanita berkulit sawo matang ini. Senada dengan Mak Mis, Mak Beti juga menyampaikan hal serupa, bagi kedua perempuan ini kumawula menjadi sesuatu yang dijalani dengan penuh sukarela dan sukacita sekaligus.

Tradisi Nutu Ponggokan

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali satu persatu baris bikang mulai berdatangan. Ada yang berjalan kaki, menumpang motor maupun berkelompok dengan menumpang mobil bak terbuka. Selama di Ciptagelar hampir saya tidak pernah menjumpai perempuan mengendarai motor sendiri.

Para wanita ini berasal dari ratusan kampung yang tersebar di kawasan Kasepuhan Ciptagelar. Mereka menenteng bawaan, ada yang membawa kelapa tua yang sudah dikupas, gula merah ada juga yang membawa nasi kebuli.

Mak Ara, perempuan  paruh bayah yang baru turun dari mobil bak terbuka dengan ramah menjawab pertanyaan saya ketika saya bertanya apa di balik bungkusan besar yang ia bawa, “Ini emak bawa nasi kebuli, mau dikasih ke pawon Imah Gede,” tuturnya sembari bergegas menuju Imah Gede. Mereka membawa apa saja yang mereka miliki untuk diserahkan ke pawon untuk kemudian dihidangkan kembali secara bersama-sama. Apa yang dilakukan Mak Ara dan para wanita ini di Ciptagelar istilahnya disebut ngalaukan.

Sekitar pukul delapan pagi, halaman imah gede dan sekitarnya semakin ramai dipadati kaum wanita yang datang secara khusus untuk nutu pare atau menumbuk padi. Menumbuk padi atau Nutu Ponggokan  merupakan salah satu prosesi penting dalam rangkaian serah ponggokan yang menjadi bagian rangkaian akhir jelang ritual puncak Seren Taun.

Baris bikang yang nutu ponggokan hanya diperkenankan mereka yang sudah, gadis yang sudah menstruasi, baris bikang yang sudah menikah dan belum menopause.  Sementara untuk para gadis yang belum menstruasi dan wanita yang sudah menopause diperkenankan menumbuk padi dalam kesempatan berbeda yang disebut Nutu Rasul.

Sebelum menumbuk padi, para pria mulai memikul padi yang sudah dikeringkan yang sudah diikat yang disebut dengan pocongan. Pocongan padi berasal dari warga kemudian dikumpulkan sementara di balai pertemuan untuk kemudian ditumbuk menjadi beras. Saat membawa padi dari leuit atau gudang penyimpanan beras, padi dilarang diangkut dengan kendaraan, tetapi harus dipikul dengan berjalan kaki.

Sebuah gubuk tanpa bilik yang berada tak jauh dari imah gede menjadi salah satu tempat baris bikang menumbuk padi. Di sini tersedia lima lesung. Selain di tempat ini, kegiatan menumbuk padi ini juga dilakukan di sejumlah titik di sekitar Ciptagelar.

Pocongan padi dipotong dengan menggunakan golok dan dikumpulkan dalam bakul kemudian ditaruh di lesung-lesung kayu yang tersedia. Lesung memiliki dua bagian yang cekung ke dalam, pertama berbentuk bulat yang berada di bagian ujung. Bagian berlubang ini  untuk menumbuk beras yang sudah mulai terkelupas cangkannya, sementara yang bagian lebih besar memanjang untuk menumbuk padi yang masih berbentuk gabah.

Belum lima menit saya sudah mulai kewalahan mengikuti ritme para perempuan yang menumbuk padi satu lesung dengan saya, saya pun mencoba mengayak padi denggan menggunakan nyiru atau disebut napi. Napi dengan menggunakan nyiru, keliatannya mudah. Tapi lagi-lagi tidak semudah keliatannya. Mak Ara dengan sabar mengajari saya bagaimanz menggerakkan nyiru agar gabah dan beras yang bersih bisa terpisah.

Baris bikang kemudian mengambil posisi untuk mulai menumbuk dengan alu. Suara alu beradu dengan lesung menimbulkan irama yang khas berpadu dengan suara serupa dari kejauhan. Suaranya bersahutan, dalam istilah masyarakat setempat disebut tutunggulan. Irama yang membuat saya semakin terpesona terlebih dari panggung dekat imah gede dimainkan gamelan yang memainkan  irama salendro dan pelog lengkap dengan seruling. Sebuah pagi yang berbeda bagi saya yang terbiasa dengan hiruk pikuk di kota besar.

Saya tentu saja tidak hanya menjadi penonton, saya berusaha untuk bisa merasakan langsung menumbuk padi. Saya bersama lima bikang berada di sisi kiri dan lima bikang lainnya berada di sisi kanan. Alu dengan panjang sekitar dua meter yang saya pegang sebenarnya tidak terlalu berat, tapi saya harus memegangnya dua tangan. Aaahhh ternyata berat!

Serah Ponggokan Ritual Penting Sebelum Seren Taun

Serah Ponggokan merupakan salah satu ritual penting yang bisa juga dibilang sebagai ritual  terakhir jelang ritual puncak Seren Taun bagi masyarakat kasepuhan Ciptagelar. Seren taun sendiri merupakan ritual penutup tahun kalender pertanian kasepuhan yang digelar secara besar-besaran oleh masyrakat adat ini. Tahun ini, Seren Taun dijadwalkan pada tanggal 15 sampai 17 September mendatang.

Sebelum Seren Taun, terlebih dahulu digelar serah ponggokan yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut ditandai dengan berbagai kegiatan diantarnya adalah sensus atau pendaatan jumlah warga, hewan peliharaa, kendaraan bermotor, mesin, leuit (lumbung padi), gula kelapa, atap dari injuk dan lainnya.

Tercatat tahun ini, Kasepuhan yang telah berusia lebih dari 649 tahun ini memiliki penduduk sekitar 40 ribu ribu jiwa baik yang menetap di kawasan kasepuhan maupun di luar daerah bahkan luar negeri. Selain sensus penduduk, serah ponggokan ini merupakan waktu penyerahan iuran dari warga melalui sesepuh kampung kepada pengurus kasepuhan.

Itulah sebabnya, selama serah ponggokan ini, imah gede dipadati para sesepuh kampung yang datang dari sekitar hampir 568 kampung yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Jawa Barat. Selain sesespuh kampung, ritual tiga hari serah ponggokan ini juga menjadi ajang bagi para warga kasepuhan yang merantau untuk pulang kampung.

Proses pendataan dan penyerahan iuran berlangsung di balai pertemuan, mereka juga melangsungkan pertemuan secara tertutup di ruang Imah Tiang Kalapa dengan Abah Ugi selaku pemimpin kasepuhan.

Dalam serah ponggokan tahun ini, Kasepuhan Ciptagelar berhasil mengumpulkan tidak kurang dari  Rp. 481.317.000,- dari warganya. Jumlah ini masih sementara dan dipastikan akan bertambah hingga pelaksanaan upacara seren taun.

Jumlah tersebut berasal dari iuran Rp.1000,- per orang/jiwa, kendaraan bermotor dikenai iuran Rp.5000, sampai dengan Rp.25.000,-

Uang yang terkumpul digunakan untuk kepentingan masyarakat diantaranya untuk membiayai berjalannya ritual serah ponggokan dan seren taun atau disebut ngalaukan dan kepentingan umum masyarakat kasepuhan Ciptagelar lainnya. Swadaya ini telah berlangsung selama ratusan tahun.

Menurut catatan sejarah, Kasepuhan Ciptagelar sudah berdiri pada tahun 1368 M sekitar tahun 649 tahun lalu jauh sebelum Bangsa Barat menjajah nusantara. Mereka dipimpin oleh seorang kepala kasepuhan berdasarkan garis keturunan dan saat ini kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi, yang menggantikan mendiang ayahnya, Abah Anom yang wafat tujuh tahun silam.

Abah Ugi dalam menjalankan tugasnya sebagai pempimpin dibantu oleh dewan sesepuh yang tergabung dalam Baris Kolot. “Meskipun saya lebih tua secara usia, kami tetap memanggil Abah kepada pemimpin kami yang usianya jauh lebih muda dari kami, ini adalah sebutan penghormatan kepada pemimpin,” tutur Aki Katna, salah seorang Baris Kolot.

Aki Katna dan para Baris Kolot lainnya dengan setia menjadi pendamping, dewan penasihat sekaligus menjadi orang tua bagi Abah Ugi dan masyarakat kasepuhan secara umum dalam menjalankan sendi-sendi kehidupan.

Sebagai sebuah komunitas masyarakat adat, selain memiliki jatidiri sebagai masyarakat yang tetap teguh memegang tradisi leluhur, Kasepuhan Ciptagelar memang sangat mandiri. Dengan menggunakan biaya yang dikumpulkan secara swadaya selama turun temurun, kasepuhan ini memiliki sumber listrik sendiri sejak tahun 1980 silam, irigasi dan air bersih untuk keperluan rumah tangga mengalir jernih melalui pipa dari mata air ke rumah-rumah warga, hingga saluran televisi dan radio sendiri.

Sedangkan untuk infrastruktur yakni jalan, memang masih belum merata pembangunannya. Masih terdapat jalan bebatuan terjal yang belum bisa dilalui mobil dan hanya bisa dilalui kendaraan bermotor sehingga masih perlu peran pemerintah lebih maksimal.

Memiliki Stock Pangan untuk 80 Tahun Mendatang
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat kasepuhan ini tidak lepas dari siklus padi. Padi bagi masyarakat yang hidup di antara pegunungan Halimun ini bukan sekedar bahan konsumsi tetapi merupakan penjelamaan dewi yang sangat dihormati bernama Nyai Dewi Pohaci.

Siklus kalender padi itu mulai dari ngaseuk (menanam benih padi), sapang jadian pare, selametan pare ngidam, mapag pare beukah, upacara sawenan, syukuran mipit pare, nganyaran/ngabukti, ponggokan dan lainnya. Karena meyakini padi sebagai Dewi yang memberikan kehidupan, masyarakat kasepuhan ini sangat merawat padi dengan baik bahkan mematuhi larangan memperjualbelikan padi. Dalam satu tahun, kasepuhan ini memiliki tidak kurang dari 53 ritual yang kesemuanya berdasarkan siklus padi.

Masyarakat adat Ciptagelar menanam padi hanya satu kali dalam satu tahun, hal ini mereka lakukan dengan keyakninan bahwa tanah atau bumi harus istirahat sehingga tidak dibolehkan menanam padi lebih dari satu kali dalam satu tahun seperti daerah daerah lainnya di Indonesia. “Bumi adalah Ibu, Ibu sudah memberi kita kehidupan dengan padi yang berlimpah, ada saatnya harus kita istirahatkan, tidak boleh ditanami apapun,” jelas Aki Katna.

Meski hanya satu kali panen dalam satu tahun, Ciptagelar memiliki ketahanan pangan yang luar biasa, bahkan kerap mengundang perhatian dunia. Banyak sudah penelitian para ilmuwan dalam dan luar negeri datang ke tempat ini, untuk melihat lebih dekat bagiamana kasepuhan ini mampu membudidayakan padi dengan sangat baik.

Saat ini, Ciptagelar memiliki 9.142  leuit atau lumbung  padi yang berisi tidak kurang dari 1.050.803 (satu juta lima puluh ribu delapan ratus tiga) pocongan padi yang siap ditumbuk menjadi beras. “Jika di tempat-tempat lain di Indonesia banyak yang gagal panen, di Kasepuhan ini justru hasil panen terus meningkat. Percaya atau tidak, setiap ada tempat yang gagal panen, padinya pindah ke tempat kami, itulah sebabnya padi di tempat kami terus bertambah,” kata Kang Yoyo.

Keberhasilan membudidayakan padi kasepuhan Ciptagelar terus dilakukan dengan memegang teguh tradisi leluhur. Karena keberhasilan mereka, stock padi Ciptagelar disebut-sebut cukup untuk 80 tahun ke depan. “Lahan yang kami tanami tetap, konsumsi beras semakin tinggi karena jumlah warga yang terus bertambah akan tetapi stock kami terus bertambah. Penambahan ini ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah leuit setiap tahun. Abah Ugi setiap tahunnya bisa menambah 8 leuit untuk menampung hasil panen. Inliah berkah,” jelas Kang Yoyo.

Karena prestasinya dalam mengelola ketahanan pangan itulah, Ciptagelar kerap meraih berbagai penghargaan dalam dan dan luar negeri. Salah satunya adalah penghargaan Internasional sebagai The First Eco Medal Awards for Ecology and environment dari Dutch Design Week, Belanda pada tahun 2015 lalu. “Kalau kami tidak pernah merasa penghargaan ini secara khusus diberikan kepada kami, melainkan bagi semua pihak yang telah menjaga keselamatan dan menjaga keseimbangan bumi, di manapun berada,” jelas Kang Yoyo. 

Teguh Memegang Tradisi
Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, Kasepuhan Ciptagelar dengan setia menjalankan kehidupan berlandaskan azas kebersamaan, semangat gotong royong dan teguh menjalankan tradisi leluhur.

“Kami ini generasi penerus, kami menjalankan apa yang sudah dilakukan para leluhur, sebagai generasi penerus kami wajib melestarikannya agar berkah ini terus terjaga. Tentunya, bukan hanya untuk kami tapi untuk generasi berikutnya,” jelas Aki Katna.

Tradisi yang tetap terjaga warisan nenek moyang itu diantaranya beragam ritual, salah satunya ritual ponggokan, sebuah ritual yang membawa langkah saya untuk melihat lebih dekat kearifan lokal masyarakat yang masuk dalam kesatuan adat Banten Kidul tersebut. Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan saya kali ini, sampai jumpa dalam catatan perjalanan saya berikutnya!!



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terpikat Eksotisme Suku Jahai

Keranjingan Jogging di Monas sampai Studio Alam Depok